Tak habis-habisnya pembicaraan mengenai bahaya rokok, baik di forum-forum resmi maupun obrolan sehari-hari. Tapi tak habis-habis pula jumlah perokok yang ada di Indonesia maupun di dunia. Meskipun sebenarnya mereka para perokok sudah mengetahui bahaya rokok tetapi mereka tetap saja merokok demi memenuhi kepuasan batinnya.
Ada saja alasan yang perokok gunakan untuk melancarkan aksinya, ada yang bilang untuk mengurangi stress, sudah kecanduan, sebagai teman atau bahkan sebagai penyumbang pendapatan negara. Untuk alasan yang terakhir memang industri rokok khususnya di Indonesia menjadi penyumbang pendapatan negara yang besar.
Bahkan pola hidup tidak sehat ini sudah dimulai oleh kalangan di bawah umur (anak-anak). Mereka karena pengaruh lingkungan sudah mulai mencoba-coba untuk merokok pada usia belia.
Pada saat peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia (HTTS), di kawasan Cibubur, Selasa (31/5/2011), Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih memaparkan betapa rokok kini semakin mengancam generasi muda.
Menteri Kesehatan dalam sambutannya mengatakan, “Di antara penduduk Indonesia yang umurnya di atas 15 tahun, 35 persen adalah perokok. Dan dari 10 anak laki-laki di atas usia 15 tahun, 6 sampai 7 orang di antaranya merokok”.
Berdasarkan data Riskesdas 2010, prevalensi penduduk usia 15 tahun ke atas yang merokok setiap hari secara nasional mencapai 28,2 persen. Sedangkan berdasarkan usia pertama kali merokok secara nasional, kelompok usia 15-19 tahun menempati peringkat tertinggi dengan prevalensi mencapai 43,3 persen, disusul kelompok usia 10-14 tahun yang mencapai 17,5 persen.
Menurut Endang, situasi lain yang lebih memprihatinkan adalah, bahwa ada 85,4 persen perokok aktif merokok di dalam rumah bersama anggota keluarga, sehingga dapat berakibat buruk terhadap kesehatan anggota keluarga lain khususnya anak-anak.
“Jadi, anak terpapar asap rokok atau sebagai perokok pasif. Anak-anak ini akan mengalami gangguan kesehatan seperti pertumbuhan paru lambat, mudah terkena bronkitis, infeksi telinga dan sebagainya,” tegasnya.
Endang juga menyatakan bahwa rata-rata pengeluaran tumah tangga keluarga miskin untuk membeli rokok jauh di atas rata-rata pengeluaran untuk bahan makanan seperti protein, sayur atau yang lain.
“Jadi kalau orang itu punya uang, pertamakali yang dibeli adalah rokok. Tentu saja selain, tidak baik untuk dirinya sendiri, juga keluarganya,” tegasnya.
Menkes menambahkan, lebih dari 43 juta anak Indonesia hidup serumah dengan perokok dan terpapar asap rokok atau sebagai perokok pasif. Sebesar 37,3 persen pelajar dilaporkan terbiasa merokok, dan 3 di antara 10 pelajar pertama kali merokok pada usia di bawah 10 tahun.
Kondisi ini, menurut Endang, dikarenakan anak-anak dan kaum muda telah dijejali dengan ajakan merokok oleh iklan, promosi dan sponsor rokok yang sangat gencar. Sebagai perbandingannya Endang mengungkapkan, pembatasan iklan rokok di negara lain sudah dibatasi. Bahkan sudah ada yang total banned, artinya, tidak boleh sama sekali ada iklan atau sponsor rokok.
“Karena sudah tidak ada tempat di negara-negara lain, maka iklan-iklan rokok itu pun masuk ke Indonesia,” terangnya.
Endang berharap, agar para generasi muda bersikap cerdas, dan melihat bahwa merokok tidak cool. “Yang cool adalah tidak merokok karena menyadari bahwa itu tidak sehat dan memperlihatkan bahwa generasi muda bertanggung jawab atas kesehatan dirinya,” ujarnya.
Saat disingung soal sejauhmana upaya pemerintah dalam mengendalikan masalah kesehatan akibat tembakau, Endang mengaku bahwa pihaknya sudah melakukan berbagai upaya di antaranya dengan mengembangkan berbagai regulasi pengendalian rokok, sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Kesehatan no 36 tahun 2009.
“Kemudian kita juga kita sedang menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan. Mudah-mudahan RPP ini bisa cepat selesai menjadi Peraturan Pemerintah (PP),” pungkasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar